Beranda | Artikel
Kaidah Ke-42 : Ibadah yang Bisa Dikerjakan Dengan Beberapa Cara Pelaksanaan
Sabtu, 21 November 2015

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Keempat Puluh Dua

الْعِبَادَاتُ الْوَارِدَةُ عَلَى وُجُوْهٍ مُتَنَوِّعَةٍ تُفْعَلُ عَلَى جَمِيْعِ وُجُوْهِهَا فِي أَوْقَاتٍ مُخْتَلِفَةٍ

Ibadah yang bisa dikerjakan dengan beberapa cara pelaksanaan maka dikerjakan dengan seluruh tata caranya pada waktu yang berbeda-beda

MAKNA KAIDAH
Sebelum membahas kandungan kaidah ini, perlu kita ketahui bahwa ibadah-ibadah yang disyariatkan ditinjau dari tata cara pelaksanaaannya terbagi menjadi dua :

Pertama : Ibadah yang hanya mempunyai satu cara pelaksanaan. Dari sejak awal pensyariatannya dilaksanakan dengan satu cara saja. Seperti jumlah rakaat shalat fardhu, juga ibadah puasa yang hanya mempunyai satu cara, yaitu menahan makan, minum, dan seluruh yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Ibadah jenis ini tidak masuk dan tidak ada kaitannya dengan kaidah ini.

Kedua : Ibadah yang disyari’atkan dengan beberapa cara pelaksanaan yang dijelaskan dalam dalil-dalil yang shahih. Ibadah semacam inilah yang dibahas dalam kaidah ini. Timbul pertanyaan, bagaimanakah kita melaksanakan ibadah semacam ini ? Apakah kita cari cara ibadah yang paling akhir dan menganggap yang awal mansukh ? Ataukah kita mentarjih (menguatkan) salah satu cara dan kita tinggalkan cara yang lain ? Jawabannya ada dalam kaidah ini, yaitu kita laksanakan ibadah itu dengan seluruh cara yang dituntunkan. Kita laksanakan terkadang dengan cara ini, dan terkadang dengan cara lainnya. Karena semua tata cara tersebut telah dijelaskan dengan dalil syar’i yang shahih. Sesuatu yang telah tetapkan dengan dalil shahih maka disyariatkan untuk dikerjakan. Ini adalah jawaban yang benar terhadap masalah ini.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hendaknya difahami tentang satu kaidah yang diisyaratkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[1] dan ahli ilmu yang lainnya bahwa ibadah yang mempunyai beberapa cara pelaksanaan seyogyanya dikerjakan dengan seluruh tata caranya tersebut. Satu saat dengan cara ini, dan saat lain dengan cara lainnya, dengan syarat hal itu tidak menimbulkan permasalahan atau fitnah di tengah-tengah manusia.”[2]

Jika hal ini telah difahami, maka perlu kita ketahui bahwa beragamnya tata cara dalam pelaksanaan ibadah termasuk kesempurnaan syari’at Islam, dan menunjukkan benarnya firman Allah Azza wa Jalla.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. [al-Mâidah/5:3]

FAIDAH KAIDAH INI
Dilaksanakannya ibadah dengan seluruh tata caranya mempunyai banyak faidah, diantaranya[3]:

1. Menjaga Syari’ah supaya tidak hilang atau terlupakan. Karena jika kita melaksanakan satu cara saja dan meninggalkan cara lainnya maka hal itu akan mengakibatkan cara lainnya hilang atau terlupakan. Ini juga termasuk dalam kategori menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda beliau :

مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun[4]

2. Meragamkan ibadah yang dikerjakan seorang hamba sehingga tidak menimbulkan kebosanan. Secara naluri, manusia senang kepada sesuatu yang baru. Dengan adanya tata cara yang berbeda-beda dalam pelaksanaan ibadah, maka akan tercukupi kecenderungan jiwa tersebut, sehingga jiwa akan selalu bersemangat.

3. Senantiasa menghadirkan niat ketika melaksanakan amalan dan tidak menjadikannya sekedar kebiasaan. Karena sebagian orang menjadikan ibadah yang hanya memiliki satu cara sekedar kebiasaan. Dikarenakan dirinya sudah terbiasa mengerjakan gerakan-gerakan ibadah itu, maka ia mengerjakannya tanpa kekhusyukan dan tanpa menghadirkan hati atau konsentrasi. Misalnya shalat, sebagian orang terbiasa mengerjakan gerakan-gerakannya sehingga ketika telah selesai salam, ia tidak tahu atau lupa apa yang ia baca ketika shalat, dan apakah ia ruku’ dan sujud atau tidak ? Ini akan berbeda jika melaksanakan ibadah dengan tata cara yang beragam. Ia akan sangat perhatian dengan cara yang ia pilih. Sehingga ia pun melaksanakannya tahap demi tahap dengan penuh konsentrasi dan khusyuk, sehingga ibadahnya sempurna.

4. Menyebarkan atau mensosialisasikan semua cara tersebut di tengah manusia sehingga tidak diingkari. Apabila kita hanya memakai satu cara saja, dan kita tinggalkan cara yang lainnya, maka orang awam hanya akan mengetahui satu cara itu saja. Sehingga, apabila suatu ketika kita amalkan cara yang lainnya, besar kemungkinan mereka mengingkarinya. Kondisi ini bisa menyebabkan mereka terjatuh pada suatu yang terlarang yaitu mengingkari syari’at. Hal itu tentu tidak terjadi, jika kita laksanakan semua cara ibadah itu dan manusia mengetahuinya.

5. Memperoleh hikmah dan maslahat dari semua cara ibadah tersebut. Kita meyakini bahwa semua yang disyari’atkan dalam agama ini pasti mengandung hikmah yang dalam dan kebaikan yang banyak. Setiap cara dari ibadah tersebut masing-masing memiliki hikmah yang tinggi. Seandainya kita mencukupkan diri dengan sebagian kaifiyah (cara) tanpa sebagian yang lain maka kita tidak bisa mendapatkan maslahat dari cara yang ditinggalkan. Jika kita kerjakan seluruh caranya maka kita akan mendapatkan semua hikmah dan kebaikannya.

Apabila hal ini telah difahami, maka perlu kita ketahui bahwa ibadah-ibadah yang mempunyai beberapa tata cara pelaksanaan, terdiri atas dua macam. Pertama, ibadah yang semua caranya bisa dikumpulkan dalam satu waktu, Ibadah semacam ini tidak mengapa bagi kita untuk melaksanakan semua caranya di satu waktu. Misalnya beberapa dzikir ketika ruku’ dan sujud, yang mana beberapa lafadznya bisa digabungkan dalam satu waktu. Kedua, ibadah yang semua caranya tidak bisa dikumpulkan dalam satu waktu. Ibadah semacam ini kita laksanakan seluruh tata caranya dalam waktu yang berbeda-beda. Seperti lafadz adzân dan iqâmah, dan semisalnya yang insya Allâh akan datang penjelasannya.

CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Di antara contoh permasalahan yang masuk dalam implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :

1. Adzan adalah ibadah yang mempunyai dua cara pelaksanaan. Pertama, adalah adzan Bilal bin Rabah Radhiyallahu anhu, yang di dalamya tidak ada tarji’.[5] Kedua, adalah adzan Abu Mahdzurah Radhiyallahu anhu, yang di dalamnya ada tarji’. Kedua cara benar berdasarkan dalil shahih. Maka yang disunnahkan adalah kita mengumandangkan adzan terkadang dengan adzan Bilal dan terkadang dengan adzan Abu Mahdzurah. Namun tidak boleh bagi seorang muadzin menggabungkan kedua cara tersebut dalam satu waktu.[6]

2. Iqamah adalah ibadah yang memiliki dua cara pelaksanaan.[7] Pertama, iqamah Bilal Radhiyallahu anhu. Yaitu dengan mengganjilkan seluruh lafaznya kecuali lafaz takbir (اللهُ أَكْبَرُ) dan iqamah (قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ). Kedua, iqamah Abu Mahdzurah Radhiyallahu anhu, yaitu sama seperti kaifiyah adzan Bilal. Barangsiapa yang mengumandangkan adzan dengan adzan Bilal disunnahkan baginya untuk iqamah dengan iqamah Bilal. Dan barangsiapa mengumandangkan adzan dengan adzan Abu Mahdzurah disunnahkan baginya untuk iqamah dengan iqamah Abu Mahdzurah. Dan disunnahkan suatu ketika iqamah dengan iqamah Bilal dan suatu ketika dengan iqamah Abu Mahdzurah.

3. Duduk tawarruk ketika tasyahud akhir dalam shalat yang mempunyai dua tasyahud memiliki tiga cara pelaksanaannya. Pertama, menegakkan telapak kaki kanan dan meletakkan telapak kaki kiri di bawah betis kaki kanan.[8] Kedua, menghamparkan kaki kanan dan meletakkan telapak kaki kiri di antara betis dan paha kaki kanan.[9] Ketiga, menghamparkan kaki kanan dan meletakkan telapak kaki kiri di bawah betis kaki kanan.[10]

Semua cara tersebut dijelaskan dalam dalil yang shahih. Maka yang disunnahkan adalah melaksanakan semua cara tersebut dalam beberapa shalat yang berlainan.

4. Shalat khauf mempunyai beberapa tata cara pelaksanaan. Maka yang disunnhakan adalah melaksanakan semua tata cara tersebut di waktu yang berbeda-beda.[11]

5. Ada beberapa cara dalam mengerjakan shalat witir.[12] Di antaranya, jika shalat witir itu dilaksanakan tiga rakaat, maka bisa dikerjakan tiga rakaat sekaligus dengan sekali salam. Dan boleh juga dikerjakan dua rakaat terlebih dahulu kemudian salam, lalu ditambah satu rakaat lagi. Maka disunnahkan mengerjakan semua tata cara tersebut pada waktu yang berbeda-beda sebagaimana dijelaskan rinciannya dalam kitab-kitab fiqih.[13]

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Majmû’ al-Fatâwâ, 22/335-337.
[2]. as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil Jauzi, Damam, 2/65.
[3]. Tentang faidah penerapan kaidah ini di antaranya bisa dilihat dalam as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’, 2/56-57.
[4]. HR. Ibnu Mâjah no. 209, pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, oleh karena itu syaikh al-Albâni menshahihkannya dalam kitab Shahîh Ibnu Mâjah, no. 173.
[5]. Tarji’ adalah mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) ketika adzan dengan melirihkan suara supaya orang yang dekat masjid bisa mendengarnya, kemudian mengulanginya lagi dengan suara keras supaya orang yang jauh bisa mendengarnya. (Lihat Mu’jam Lughah al-Fuqaha’. Prof. Dr. Muhammad Rawas Qal’ah Jiy dan Dr. Hamid Shadiq Qunaibi. Cetakan kedua. Tahun 1408 H/1988 M. Dar an-Nafais. Beirut. Pada kata (الترجيع)
[6]. Lihat as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, 2/55-56.
[7]. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menyebutkan tiga cara dalam iqamah. (Lihat as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, 2/64-65).
[8]. Sebagaimana dalam HR. al-Bukhâri no. 828.
[9]. Sebagaimana dalam HR. Muslim no. 112 dan 579.
[10]. Sebagaimana dalam HR. Abu Dâwud no. 965, al-Baihaqi 2/128, Ibnu Hibban no. 1867.
[11]. Syaikh al-Utsaimin menjelaskan bahwa ada enam atau tujuh cara pelaksanaan shalat khauf. Lihat, as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, 4/408-411.
[12]. Tentang beberapa kaifiyah (tata cara) shalat witir bisa dilihat dalam as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, 4/13-16.
[13]. Diangkat dari Talqîh al-Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Pertama. Dengan peringkasan dan penambahan.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4241-kaidah-ke-42-ibadah-yang-bisa-dikerjakan-dengan-beberapa-cara-pelaksanaan-dikerjakan-seluruhnya.html